Seminar Internasional : National Character Building and Sustainable Development ( jumat 27 mei 2011 )

Tanggal: Jumat 27 May 2011


Akhir perkuliahan Kapita Selekta ini ditutup dengan Seminar Internasional berjudul National Character Building and Sustainable Development di Auditorium Universitas Tarumanagara Kampus I Gd. Utama lantai 3 pada hari jumat 27 mei 2011. Acara ini berlangsung atas kerja sama dengan UPF (Universal Peace Federation) dan ASPIKOM (Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi). Seminar ini berlangsung dari pk 10.00 - 15.00 dan dihadiri oleh pembicara dari Indonesia juga luar negeri.


Seminar dibagi menjadi 6 sesi pembicara, yaitu:
1. Pembicara pertama dibawakan oleh Bapak Prof. Dr R. Agus Sartono, M.B.A, Deputy Minister for Education and Religion of the Coordinating Ministry for People's Welfare.  
2.  Dr. Mee Young Choi (ESD Team Leader / Programme Specialist in Education UNESCO Office in Jakarta) mengenai Pembelajaran untuk Perubahan: Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan.
3. Mrs. Ursula McLackland (UPF) mengenai Pendidikan Karakter Sebagai Pondasi untuk Kepemimpinan yang Baik, Komunikasi, dan Pembangunan Bangsa.
4. Mrs. Multamia RMT Lauder (UI)  mengenai Model Pengembangan Kepribadian Terintegrasi.
5. Mr. David McLackland (UPF) mengenai Inisiatif Pendidikan Karakter.
6. Mrs. Suzy S. Azeharie (Dosen Fikom Untar) mengenai Pentingnya Konstruksi dari Kepemimpinan Melalui Perspektif Gender.




Disiplin diri merupakan hal penting dalam setiap upaya membangun dan membentuk karakter seseorang. Sebab karakter mengandung pengertian:
(1) Suatu kualitas positif yang dimiliki seseorang, sehingga membuatnya menarik dan atraktif;
(2) Reputasi seseorang; dan
(3) Seseorang yang unusual atau memiliki kepribadian yang eksentrik.

Akar kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya "tools for marking", "to engrave", dan "pointed stake". Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk' unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau `berkarakter' tercela).

Tentang proses pembentukkan karakter ini dapat disebutkan sebuah nama besar : Helen Keller (1880-1968). Wanita luar biasa ini--ia menjadi buta dan tuli di usia 19 bulan, namun berkat bantuan keluarganya dan bimbingan Annie Sullivan (yang juga buta dan setelah
melewati serangkaian operasi akhirnya dapat melihat secara terbatas) kemudian menjadi manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904-- pernah berkata: "Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and
suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved". Kalimat itu boleh jadi merangkum sejarah hidupnya yang sangat inspirasional. Lewat perjuangan panjang dan ketekunan yang sulit dicari tandingannya, ia kemudian menjadi
salah seorang pahlawan besar dalam sejarah Amerika yang mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat nasional dan internasional atas prestasi dan pengabdiannya
. Helen Keller adalah model manusia berkarakter (terpuji). Dan sejarah hidupnya mendemonstrasikan bagaimana proses membangun karakter itu memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant. Diperlukan refleksi mendalam untuk membuat rentetan moral choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang.

Selanjutnya, tentang nilai atau makna pentingnya karakter bagi kehidupan manusia dewasa ini dapat dikutip pernyataan seorang Hakim Agung di Amerika, Antonin Scalia, yang pernah mengatakan: "Bear in mind that brains and learning, like muscle and physical skills, are
articles of commerce. They are bought and sold. You can hire them by the year or by the hour. The only thing in the world NOT FOR SALE IS CHARACTER. And if that does not govern and direct your brains and learning, they will do you and the world more harm than good".
Scalia menunjukkan dengan tepat bagaimana karakter harus menjadi fondasi bagi kecerdasan dan pengetahuan (brains and learning). Sebab kecerdasan dan pengetahuan (termasuk informasi) itu sendiri memang dapat diperjualbelikan. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di era knowledge economy abad ke-21 ini knowledge is power.

Masalahnya, bila orang-orang yang dikenal cerdas dan berpengetahuan tidak menunjukkan karakter (terpuji), maka tak diragukan lagi bahwa dunia akan menjadi lebih dan semakin buruk. Dengan kata lain ungkapan knowledge is power akan menjadi lebih sempurna jika
ditambahkan menjadi--meminjam sebuah iklan yang pernah muncul di Harian Kompas-- knowledge is power, but character is more.

Demikianlah makna penting sebuah karakter dan proses pembentukkannya yang tidak pernah mudah melahirkan manusia-manusia yang tidak bisa dibeli. Ke arah yang demikian itulah pendidikan dan pembelajaran - termasuk pengajaran di institusi formal dan pelatihan di institusi nonformal--seharusnya bermuara, yakni membangun manusia-manusia berkarakter (terpuji), manusia-manusia yang memperjuangkan agar dirinya dan orang-orang yang dapat dipengaruhinya agar menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang utuh atau memiliki integritas.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar